Zonasi PPDB 2025: Antara Tantangan, Solusi, dan Masa Depan Pendidikan yang Inklusi
Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali menjadi sorotan menjelang tahun ajaran 2025. Sejak pertama kali diterapkan, kebijakan ini bertujuan menciptakan pemerataan akses pendidikan. Namun, seiring pelaksanaannya, berbagai tantangan muncul, mulai dari ketimpangan kualitas sekolah hingga polemik penerimaan siswa yang masih menuai pro dan kontra. (Ferawati, Mahasiswa Magister Pendidikan Sosiologi UNIMERZ)
Dalam diskusi akademis terbaru di Universitas Airlangga (UNAIR), pakar sosiologi pendidikan Prof. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si., menyoroti urgensi reformasi sistem zonasi agar tetap relevan dengan tujuan awalnya. Menurutnya, keberlanjutan sistem ini harus dibarengi dengan upaya nyata dalam peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Ketimpangan Kualitas Sekolah: Akar Permasalahan Sistem Zonasi
Prof. Tuti mengungkapkan bahwa ketimpangan kualitas sekolah masih menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan sistem zonasi. Ia menyoroti fakta bahwa sekolah unggulan cenderung berada di lingkungan masyarakat strata menengah ke atas yang memiliki sumber daya lebih besar. Sebaliknya, sekolah di wilayah yang lebih terpinggirkan sering kali menghadapi keterbatasan sarana, tenaga pendidik, serta fasilitas pendukung pembelajaran.
"Selama ini, kualitas sekolah sering kali ditentukan oleh kemampuan dan harapan kelompok masyarakat. Sekolah berkualitas cenderung tumbuh di lingkungan masyarakat dengan sumber daya yang lebih besar, sementara masyarakat menengah ke bawah sering kali harus puas dengan sekolah yang memiliki fasilitas seadanya," jelasnya.
Dikotomi ini menciptakan kesenjangan yang tajam dalam dunia pendidikan. Anak-anak yang bersekolah di lembaga pendidikan dengan fasilitas terbatas tidak didorong untuk mencapai prestasi akademik tinggi, sedangkan sekolah unggulan menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu.
Dalam konteks ini, sistem zonasi menjadi cermin ketimpangan pendidikan di Indonesia, di mana siswa harus menerima kondisi sekolah yang ada di wilayahnya, tanpa pilihan yang lebih luas.
Zonasi vs. Rayonisasi: Apakah Ada Jalan Tengah?
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah sistem zonasi masih layak dipertahankan. Beberapa kalangan mengusulkan untuk kembali ke sistem rayonisasi, yang lebih fleksibel dalam pemilihan sekolah. Namun, menurut Prof. Tuti, langkah ini justru dapat menghambat tujuan pemerataan pendidikan.
"Jika kita kembali ke sistem rayonisasi, itu berarti kita mundur dalam upaya memberikan akses pendidikan yang lebih adil dan merata," ujarnya.
Namun, bukan berarti sistem zonasi bebas dari kekurangan. Ia mengakui bahwa kebijakan ini memerlukan penyempurnaan, terutama dalam memastikan bahwa seluruh sekolah di setiap zona memiliki standar mutu yang sama.
Membangun Sekolah Inklusif sebagai Solusi Pemerataan Pendidikan
Salah satu solusi yang diusulkan Prof. Tuti untuk mengoptimalkan sistem zonasi adalah penguatan sekolah inklusi. Menurutnya, pendekatan ini dapat mengakomodasi siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi sekaligus memberikan layanan pendidikan yang lebih personal.
"Sekolah inklusi tidak hanya menyatukan siswa dari berbagai kondisi sosial-ekonomi, tetapi juga menawarkan sistem pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu," jelasnya.
Dengan konsep pendidikan inklusif, setiap siswa – termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus – dapat memperoleh pendidikan yang setara dalam satu lingkungan yang sama. Model ini sejalan dengan konsep Education for All yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain itu, Revitalisasi sekolah inklusi juga dapat meningkatkan kualitas tenaga pengajar. Pelatihan khusus bagi guru dalam menangani siswa dengan kebutuhan yang beragam akan membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di semua sekolah, bukan hanya di sekolah unggulan.
Evaluasi dan Pengawasan: Kunci Keberhasilan Zonasi
Meskipun sistem zonasi memiliki tujuan baik, tanpa pengawasan yang ketat dan evaluasi berkala, kebijakan ini bisa kehilangan arah. Prof. Tuti menegaskan bahwa negara harus benar-benar berpihak pada upaya peningkatan kualitas pendidikan, bukan hanya sekadar mengatur distribusi siswa.
"Zonasi bukan sekadar pembagian wilayah, tetapi sebuah langkah menuju pendidikan yang lebih adil dan merata bagi seluruh siswa," tegasnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah melakukan monitoring yang ketat terhadap implementasi sistem zonasi, dengan beberapa langkah berikut:
- Meningkatkan anggaran pendidikan di sekolah-sekolah non-unggulan agar seluruh sekolah dalam satu zona memiliki kualitas yang setara.
- Memberikan insentif bagi guru berkualitas untuk mengajar di sekolah-sekolah kurang berkembang.
- Melakukan penyesuaian sistem zonasi berdasarkan data yang valid agar siswa tetap mendapatkan pendidikan terbaik di wilayahnya.
- Memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam kebijakan pendidikan, sehingga setiap pihak merasa memiliki tanggung jawab terhadap peningkatan kualitas sekolah di sekitarnya.
Kesimpulan: Zonasi Perlu Disempurnakan, Bukan Dihapuskan
Pelaksanaan sistem zonasi PPDB 2025 masih menghadapi tantangan besar, namun bukan berarti sistem ini harus dihapuskan. Sebaliknya, perbaikan secara menyeluruh harus dilakukan dengan memastikan pemerataan kualitas sekolah dan revitalisasi pendidikan inklusif.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Prof. Tuti, transformasi pendidikan tidak hanya bergantung pada aturan administratif seperti zonasi, tetapi juga pada komitmen negara dalam meningkatkan kualitas sekolah, guru, dan fasilitas pendidikan.
Jika pemerintah serius dalam melakukan reformasi pendidikan, maka sistem zonasi dapat menjadi alat efektif dalam mendorong akses pendidikan yang lebih setara bagi seluruh siswa di Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Zonasi PPDB 2025: Antara Tantangan, Solusi, dan Masa Depan Pendidikan yang Inklusi"
Posting Komentar